Akarasa - Hampir semua wacana tentang dunia mistik
termasuk sulit dicerna. Kadar keilmiahannya pun terkadang terabaikan lantaran
sudah berada ditaraf yang lebih tinggi daripada akal. Mistik dalam pengertian
yang saya maksud kali ini bermakna sebuah perjalanan ruhaniah untuk menggapai
kebenaran final total dan eternal. Itu sebabnya, pengalaman mistik seseorang
yang sampai menerobos kebenaran mutlak hampir pasti akan melewati tahapan
syariat, hukum atau aturan-aturan agama manapun. Para pejalan ruhani akan
bertemu dalam satu titik meskipun di awal-awal perjalanan mereka menggunakan
“jubah” Islam, Kristen, Protestan, Budha, Hindu, Kong Hu Cu, Taosime,
kepercayaan lain-lain.
Mereka yang berjalan terus dalam perjalanan ruhani
akan mengalami hal-hal yang mistis dan tidak terduga. Pasti masing-masing orang
akan berbeda pengalaman mistisnya sesuai dengan kultur social tempat dia
mengolah hidup. Pengalaman mistis Jalaluddin Rumi akan berbeda dengan
Ronggowarsito, akan berbeda pula pengalaman mistis Al Ghazali dengan Paus
Yohanes Paulus. Itu sudah menjadi hukum sejarah kemanusiaan, bahwa setiap
manusia ditakdirkan untuk unik, eksistensial dan pasti tidak sama antara satu
dengan yang lain.
Salah satu karya mistis yang sangat populer dalam budaya
Jawa adalah Serat Dewa Ruci. Di serat itu, kita bisa menemukan sebuah proses
perjalanan ruhani setinggi-tingginya. Pertemuan Eksistensi dengan Esensi, yang
juga dikenal sebagai Ngluruh Sarira atau Racut, yaitu Mencair dan Melaut.
Transformasi Bima ke Bima Suci, atau pertemuan Bima dengan jati dirinya (Dewa Ruci), dalam khasanah agama hal ini sama dengan pertemuan Musa A.S dengan Khidir A.S. Hasilnya adalah Kesadaran Kosmis, Kesatuan Lahir-Batin, Awal-Akhir.
Transformasi Bima ke Bima Suci, atau pertemuan Bima dengan jati dirinya (Dewa Ruci), dalam khasanah agama hal ini sama dengan pertemuan Musa A.S dengan Khidir A.S. Hasilnya adalah Kesadaran Kosmis, Kesatuan Lahir-Batin, Awal-Akhir.
Tokoh yang menurut saya berhasil membuat anyaman
mistik luar biasa di dalam sejarah Jawa adalah Panembahan Senopati. Dia adalah
personifikasi tahapan pemahaman tertinggi yaitu Manggalih artinya mengenai Soal-Soal
Esensial, setelah Manah artinya membidik anak panah mengenai soal-soal
problematis di Jantung Kehidupan, Pusat Lingkaran yang dikenal sebagai Jangka. Tingkat
ini dipersonifikasikan oleh Ki Ageng Pamanahan. Adapun tingkat sebelumnya
mengenai Jangkah yang masih di aras Nalar dipersonifikasikan dengan Ki Ageng
Giring.
Dalam pandangan saya, Panembahan Senopati adalah
pakarnya Suwung, setelah mampu mengolah Ilmu-Ilmu Ketuhanan sedemikian hingga
dia mampu Mencairkan Dirinya Dalam Suwung Yang Sejati. Jimat andalan Panembahan
Senopati adalah Ilmu Melaut Ke Lautan Ilmunya Yang Tiada Berhingga.
Saben mendra saking wisma,
Lelana laladan sepi,
Ngisep sepuhing sopana,
Mrih pana pranaweng kapti
Setiap kali keluar rumah
wisata ke wilayah sunyi sepi (SUWUNG)
menghirup nafas kerokhanian
agar arif kebulatan awal akhir
Bagaimana kita menjelenterehkan makna Suwung? Jelaslah yang dimaksud dengan Keluar Rumah di situ adalah Out Of Body: Keluar dari wilayah jasmani, masuk ke alam misal, menggapai sadar ruhani—Sesungguhnya Hanya Ruh- Manusialah Yang Memahami Ruh-NYA.
Nah, inilah sebabnya kenapa akal kita tidak mampu untuk menjangkau apalagi menceriterakan pesona Suwung yang memang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya sehingga akal kita tidak akan mampu menuliskannya. Hal ini sepadan dengan apa yang dipikirkan oleh Musa AS saat melihat pertanda Tajalli Ilahi di Bukit Sinai? Musa AS jatuh tersungkur tidak sadarkan diri. Itulah momentum Ekstase seorang hamba Tuhan dalam mengarungi pengalaman spiritual.
Lelana laladan sepi,
Ngisep sepuhing sopana,
Mrih pana pranaweng kapti
Setiap kali keluar rumah
wisata ke wilayah sunyi sepi (SUWUNG)
menghirup nafas kerokhanian
agar arif kebulatan awal akhir
Bagaimana kita menjelenterehkan makna Suwung? Jelaslah yang dimaksud dengan Keluar Rumah di situ adalah Out Of Body: Keluar dari wilayah jasmani, masuk ke alam misal, menggapai sadar ruhani—Sesungguhnya Hanya Ruh- Manusialah Yang Memahami Ruh-NYA.
Nah, inilah sebabnya kenapa akal kita tidak mampu untuk menjangkau apalagi menceriterakan pesona Suwung yang memang sangat luar biasa. Begitu luar biasanya sehingga akal kita tidak akan mampu menuliskannya. Hal ini sepadan dengan apa yang dipikirkan oleh Musa AS saat melihat pertanda Tajalli Ilahi di Bukit Sinai? Musa AS jatuh tersungkur tidak sadarkan diri. Itulah momentum Ekstase seorang hamba Tuhan dalam mengarungi pengalaman spiritual.
Suwung adalah sebuah pengalaman mistis, spiritual
yang berada pada puncak intuisi yang efektif dan transendental. Ini hanya bisa
dialami apabila seseorang itu menggeser Semesta Kesadarannya Dari Yang Inderawi
Menuju Ke Atasnya. Dalam Suwung itulah, dunia inderawi ditinggalkan dan
digantikan oleh Semesta yang lain, sehingga Sampai Pada Satu Titik Keseimbangan
Semua Dimensi Di Jagad Raya.
Fariuddin at Tar, sufi agung, menjelaskan tahapan
agar sampai di Suwung tadi dalam tujuh lembah yaitu: Lembah Pencarian, Lembah
Cinta, Lembah Keinsyafan, Lembah Pembebasan, Lembah Ekstase, Lembah Takjub dan
terakhir Lembah Fana Fi Ilah.
Lembah Pencarian adalah saat seseoran mencari
unsur-unsur ketuhanan dalam dirinnya, gelombang getar khusus akhirnya ditemukan
dan dia pun mengaku sebagai Hamba Tuhan/Kawula Gusti. Lembah Cinta yaitu Yang dicari
sudah ketemu dan bersenyawa diri dengan Sang Kekasih sehingga dia masuk ke
Lembah Keinsyafan. Berikutnya adalah Lembah Pembebasan yaitu berada di “Tanah
Suci” dan sudah tanpa diri yang beralaskan kaki apapun. Berikutnya adalah
Ekstase atau Jatuh Tersungkur, Sujud Penuh Syukur. Lembah berikutnya adalah
Lembah Ketakjuban yaitu kemana pun wajah kita tertuju, di sana yang tampak adalah
Wajah-Nya. Akhirnya orang pun akan sampai ke Lembah Terakhir yaitu Fana FI IL-LAH.
0 comments:
Post a Comment